Rame-rame Sowan Kiai dan Mengaku sebagai Nahdliyin.. Lagu Lama yang selalu terulang


Di beberapa daerah, khususnya Jawa, khususon Jawa Timur, pemilihan kepala daerah sudah mulai ramai seiring akan dilaksanakannya Pilpres pada tahun depan. Kabeh-kabeh podho ngebut melaksanakan pilkades, pilbub, pilwalkot dan Pilgub.
Dan biasa pula, masa kampanye seperti sekarang baliho, iklan dan pamflet bertebaran dimana-mana. Ada satu yang menggelitik dan membuat saya tertarik untuk membahasnya. “Nopo niku kang?” “yo kui, kabeh-kabeh podho golek rai sowan teng kiai”. “Kok kasar ngono sampeyan omong kang? babahno, ancene nggarai muak kok.”

Berita sowan ke kiai pun dipolitisir dan dianggap sebagai salah satu dukungan kiai yang disowani, kepada calon tertentu. Bahkan rangkul merangkul tokoh kiai, seorang Gus atau bahkan Ning (putri dari kiai) dianggap sebagai kendaraan yang akan memuluskan seorang calon dalam mendulang suara.
Tidak dipungkiri, patron patrenalistik, kepatuhan warga nahdliyin terhadap kiainya, dianggap sebagai sarana mudah untuk mendulang suara warga nahdliyin yang memang mayoritas. Banyak akhirnya, kiai yang harusnya tandur, sumur menjadi kiai yang nglindur. Terpesona dengan tawaran politik dan kekuasaan yang memang menggiurkan.
Tak dipungkiri, menjadi seorang pemimpin itu saat ini menjadi hal yang didambakan. Selain menjadi seorang yang berkuasa penuh, duduk di tampuk kekuasaan merupakan sarana instan untuk menjadi “orang kaya baru”. Tak peduli seberapa salehnya politik islami itu, ketika dia sudah bersentuhan dengan politik maka tokoh itu akan menjadi orang yang berbeda, orang yang lupa akan tujuannya menjadi pemimpin. Tak dipungkiri bila sudah masuk ranah politik semua bakalan berubah, bahkan partai islam yang fenomenal di Indonesia saat ini, pimpinannya tergiur oleh syahwat politik dan syahwat dalam konteks tersirat.

Kembali ke panggung NU. Tak dapat dipungkiri bahwa tidak semua warga nahdliyin itu akan berlaku patron ke sang kiai-nya, namun sebagian besar warga nahdliyin yang berada di pedesaan dan kaum marjinal sana akan seperti “sepah yang terbuang” jika pentas sandiwara ini sudah usai. Banyak calon yang menampung suara dan keinginan warga masyarakat (yang sebagian besar warga di Jawa Timur ini adalah nahdliyin) kemudian menjadi lupa akan janjinya. NU hanya mendapat bargaining power ketika dia mendekati pikada seperti sekarang, dan menelan pil pahit disaat pesta demokrasi sudah usai. “NU kui urip yo ra urip, mati yo ra mati” (istilah Gus Mus).

Oleh karena itu, baik kita sebagai Kiai, Gus, Santri ataupun warga nahdliyin, sebaiknya tak membawa-bawa Organisasi ini sebagai kendaraan yang membawa ke puncak, namun kemudian mengabaikan disaat sudah sampai tujuan. “Banyak yang jadi sopir tapi jarang yang mau jadi montir”. Mari kita jadi montir. Disaat-saat seperti ini, pilihlah yang terbaik bagi kemajuan desa, kota, kabupaten atau propinsi kita. Siapapun wakil yang maju pilihlah yang terbaik, syukur-syukur pemimpin kita itu warga Nahdliyin yang memang konsisten. Jauhkan dari godaan-godaan.

#sebenernya TR gak seneng ngomong masalah politik, namun sebagai orang yg masih bau Sewulan, saya prihatin NU hanya dijadikan kendaraan.

wallahu’alam

This entry was posted in agama and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

25 Responses to Rame-rame Sowan Kiai dan Mengaku sebagai Nahdliyin.. Lagu Lama yang selalu terulang

  1. ekomoker says:

    wisssss ngomong masalah panganan wae sam , ga apik posoan ngrasani wong,hahahahahahahahaha 😀

    Like

  2. ipanase says:

    cari muka segala cara digunakan

    Like

  3. abadi83 says:

    piye yo spechless kang, mengandalkan politik praktis untuk mendpatkan duniawi semata nggak kabeh seh cuman sebagian besar xixixixi, janji tinggal janji ampas tinggal ampas,

    Like

  4. potretbikers says:

    Nggolek duku ra,kang??? wekekekekke….. 😀

    Like

  5. ochim kim says:

    bener bang…kebanyakan hanya untuk kepentingan politik saja…

    Like

  6. Cah Nglegok says:

    “Banyak yang jadi sopir tapi jarang yang mau jadi montir”

    cucoks….

    Like

  7. Duinnn says:

    Itulah salah kaprah, agama dijadikan kendaraan politik bukan sebaliknya politik untuk kepentingan agama,

    Like

  8. setia1heri says:

    wkwkw…lagu lama semua

    Like

  9. Kang Ealmee says:

    bukan cuma kekuasaan, sekarang mau mondok saja biaya tinggi sekali, bu nyaine yo ayu-ayu..

    Like

  10. koyoknya bar eruh spanduk nek ngarepe Man Telu koyoknya iki :mrgreen:

    Like

Leave a comment